Nusantaraaktual.com, Jakarta – Berbagai tindak kekerasan bernuansa agama sepanjang 2010-2022 merupakan catatan hitam bagi pemerintah, sekaligus bagi anak bangsa. Saat ini, bangsa ini berhadapan dengan fakta semakin meningkatnya jumlah kekerasan dari tahun ke tahun di satu sisi, juga menemukan peran pemerintah yang semakin minimal sebagai otoritas untuk meredakan kekerasan, di sisi lain.
Bahkan, kita seolah semakin jauh dari cita-cita menjadi negara sebagai rumah bersama berbagai golongan. Padahal, kekerasan apa pun bentuknya dan apa pun alasannya sama sekali tidak dibenarkan dalam negara yang berdasarkan hukum.
Kekerasan terjadi sambil mencari legalitasnya sendiri dan seolah memberikan pendidikan kepada masyarakat bahwa setiap persoalan mesti diselesaikan dengan kekerasan pula. Disadari atau tidak. Padahal, hanya bangsa beradab yang mengedepankan akal sehat dalam menyelesaikan segala persoalan yang dihadapinya.
Begitu banyak korban kekerasan yang mengutuk bahwa negeri ini adalah negara munafik. Negeri yang begitu pandai menyusun aturan-aturan manis, tetapi tidak mampu merealisasikannya di lapangan. Aturan-aturan itu hanya dibuat sebagai pemanis bibir belaka. Kenyataannya, ada sebagian kelompok masyarakat yang berusaha memaksakan kehendaknya sendiri dan negara abai atas situasi itu. Para korban pun kesulitan mencari rasa aman, kepada siapa lagi mereka mengadu.
Ingkari Kemanusiaan
Kekerasan merupakan pengingkaran terhadap martabat kemanusiaan. Kekerasan merupakan wajah bopeng yang merusak peradaban. Negara gagal menjaga rasa aman yang sudah diamanatkan konstitusi. Negara gagal melindungi masyarakatnya yang membutuhkan pertolongan ketika ia diserang. Buktinya, korban sudah tak lagi percaya pada jaminan-jaminan itu. Jaminan yang hanya manis di mulut: negara memberikan jaminan kebebasan beragama dan menjalankan ibadat bagi warga. Jaminan kebebasan beragama itu melekat pada diri setiap warga dan seharusnya negara sungguh-sungguh memberikan perlindungan tidak peduli siapa dia.
Walaupun wacana pluralisme dan toleransi antaragama ini sudah sering dikemukakan dalam berbagai wacana publik, praktiknya tidaklah semudah yang dipikirkan dan dibicarakan. Walaupun sudah terdapat kesadaran bahwa bangsa ini dibangun bukan atas dasar agama, melainkan oleh kekuatan bersama, pandangan atas ”agamaku”, ”keyakinanku” justru sering menjadi dasar bagi berbagai perilaku sehari-hari yang bermuatan kekerasan.
Sekalipun kita menyadari pentingnya slogan Bhinneka Tunggal Ika, praktik di lapangan tak seindah dan semudah pengucapan slogan itu. Masih banyak persoalan keagamaan di Indonesia yang menghantui dan menghambat terwujudnya solidaritas, soliditas, dan toleransi antarumat beragama di Indonesia.
Serangkaian pengrusakan, kekerasan, dan penangkapan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap ”sesat” dan kelompok agama lain terjadi dan dipertontonkan kepada publik dan mengalami eskalasi yang menyedihkan. Minoritas semakin tidak mendapatkan tempat di negeri ”Bhinneka Tunggal Ika” ini dengan beragam alasan.
Banyak peristiwa yang bisa dirujuk sebagai contoh tentang dicederainya kemajemukan bangsa ini. Masalah kebangsaan kita sering berhadapan dengan problem pluralitas yang semakin sulit dihargai. Akar kekerasan masih sering terpicu oleh hilangnya hal-hal yang dianggap sederhana dan sepele: toleransi, kebersamaan, pluralisme, dan penghormatan nilai-nilai. Akibatnya, berbagai kepentingan menyusup di balik sensitifnya hubungan agama di Indonesia.
Hal ini senada dengan temuan survei Setara Institute, Toleransi Sosial Masyarakat Perkotaan (29/11/2021), yaitu bahwa sikap dan pandangan keagamaan masyarakat (khususnya perkotaan) yang makin memperlihatkan kecenderungan intoleran. Sebagai warga dari lingkungan sosial yang bersifat urban, pandangan atau sikap semacam ini dapat dikatakan sebagai temuan menarik. Sebab, sikap ini berbeda dengan asumsi umum yang diterima secara luas bahwa masyarakat urban biasanya diidentikkan dengan ciri rasional dan toleran.
Dinamika kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia dalam tiga tahun terakhir masih dalam kondisi memprihatinkan. Sebagian besar peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan berhubungan dengan radikalisme. Yang paling serius terkait dengan tempat ibadah kelompok agama minoritas, kriminalisasi keyakinan jemaat tertentu, dan hate speech.
Negara tidak bisa duduk diam dan membiarkan masalah ini terus terjadi, karena sama saja negara mengkhianati dirinya sendiri.
Yusti H. Wuarmanuk
wartawan & penulis buku