Nusantaraaktual.com, Jakarta – Masyarakat memiliki tingkat intoleransi yang tinggi pada kelompok komunis (PKI), Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), ateis, dan Yahudi. Demikian temuan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC).
Hasil survei ini disampaikan pendiri SMRC, Prof. Saiful Mujani, dalam program Bedah Politik bersama Saiful Mujani episode ‘Menoleransi LGBT, FPI, HTI, ISIS, dan Komunis?’ yang disiarkan melalui kanal YouTube SMRC TV, pada Kamis, 23 Juni 2022 dari Jakarta.
Video utuh pemaparan Prof. Saiful Mujani bisa disimak di sini: https://youtu.be/71SpD3J81HM
Ada tiga indikator toleransi yang diukur dalam penelitian ini. Pertama, toleransi di ranah sosial. Pertanyaannya adalah apakah keberatan atau tidak bertetangga dengan kelompok masyarakat tertentu? Kedua, terkait dengan pekerjaan. Apakah keberatan atau tidak jika kelompok masyarakat tertentu yang berbeda atau pandangannnya tidak disetujui mengajar di sekolah negeri? Ketiga, menjadi pejabat publik. Apakah keberatan atau tidak jika orang yang tidak sependapat dengan Anda atau latar belakangnya beda dengan Anda menjadi pejabat publik?
Sebanyak 77 persen warga mengaku keberatan bertetangga dengan orang yang memiliki latar belakang PKI. Keberatan yang sama juga terjadi pada ISIS (72 persen), LGBT (68 persen), ateis atau orang yang tidak beragama (57 persen), dan Yahudi (51 persen).
Pada indikator toleransi yang kedua, pekerjaan, terdapat 81 persen warga yang keberatan jika orang yang berlatar belakang komunis atau PKI menjadi guru di sekolah negeri, 77 persen untuk LGBT, 77 persen untuk ISIS, 67 persen untuk ateis, dan 57 persen untuk Yahudi.
Sementara ada 83 persen yang menyatakan keberatan atau sangat keberatan jika orang yang berlatar belakang komunis atau PKI menjadi pejabat publik. Yang keberatan pada orang ISIS untuk menjadi pejabat publik sebesar 78 persen, LGBT 78 persen, ateis 71 persen, dan Yahudi 61 persen.
Saiful menjelaskan bahwa dalam studi dan pemikiran mengenai toleransi, toleransi secara umum dimaknai sebagai sikap individu terhadap pemikiran, identitas, dan keyakinan orang lain yang tidak kita setujui, namun orang itu diakui tetap punya hak-haknya sebagai warga negara.
Saiful mencontohkan bahwa bisa saja dirinya memiliki pandangan atau ideologi politik tertentu, seperti komunisme. Walaupun memiliki ideologi yang berbeda, tapi dia tidak boleh dilarang untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara, hak untuk hidup, untuk mendapatkan pekerjaan, dan menjadi pejabat publik.
Survei ini menunjukkan bahwa warga paling banyak menyebut PKI atau komunis sebagai yang paling tidak ditoleransi. Penyebabnya, menurut dia, kemungkinan besar adalah hasil dari kampanye negara yang anti terhadap komunisme.
Sementara intoleransi terhadap ISIS, menurut Saiful, adalah fenomena yang baru muncul. Ini adalah kelompok paling kanan. Sementara PKI adalah kelompok paling kiri. Dalam studi ini dimasukkan kelompok yang paling kiri (komunis) dan ekstrim kanan (ISIS). Dan kedua-duanya kurang diterima oleh masyarakat.
“Dalam toleransi, mau kiri atau kanan, mereka tidak boleh kehilangan hak-haknya sebagai warga negara,” jelas doktor ilmu politik lulusan Ohio State University, Amerika Serikat itu.
Kelompok ketiga yang mendapatkan banyak penolakan adalah LGBT. Saiful menjelaskan bahwa kelompok LGBT sangat relevan karena sekarang sedang dibahas dalam penyusunan KUHP suatu pasal yang berkaitan dengan sodomi. Itu dianggap sebagai perbuatan yang tercela. Salah satu yang dimaksud dengan tercela di sini adalah hubungan intim sesama jenis kelamin. Bagi pelaku hubungan semacam itu, hal tersebut bukan sesuatu yang tidak normal. Bagi orang umum, itu sesuatu yang dianggap berbeda. Jika undang-undang itu diberlakukan, kata Saiful, maka salah satu kelompok yang terdampak adalah kelompok LGBT.
Lebih jauh penulis buku Muslim Demokrat ini menjelaskan bahwa kemungkinan penolakan pada LGBT berasal dari fakta bahwa di Indonesia, berzina dilarang. Dan yang dimaksud berzina adalah apakah ada pernikahan atau tidak. Sementara di Indonesia, pernikahan sesama jenis tidak diakui. Maka dengan sendirinya hubungan seksual mereka akan dianggap zina. Selain melakukan perzinaan, hubungan seksualnya juga berbeda.
“Itu masalah yang ke depan pasti menjadi krusial,” kata dia.
Dalam kasus Yahudi, agama ini tidak ada larangan dalam Pancasila. Tapi, Saiful menegaskan, undang-undang yang ada di bawahnya masih mengakui agama mana yang diterima dan tidak. Ada istilah agama resmi. Yahudi sampai hari ini tidak diterima sebagai agama resmi. Saiful melihat, sentiman anti-Yahudi sedikit banyak dibentuk oleh aspek institusional, legal atau peraturan-peraturan pemerintah yang terkait dengan itu.
“Toleransi pada agama-agama yang diakui oleh negara lebih kuat dibanding yang tidak” kata dia.
Studi ini juga memasukkan kelompok-kelompok yang sudah dilarang di Indonesia, seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Negara Islam Indonesia (NII). Seberapa koheren kebijakan pemerintah (untuk melarang organisasi-organisasi itu) dengan sikap publik?
Ada 46 persen warga yang keberatan bertetangga dengan Hizbut Tahrir, NII 43 persen, FPI 34 persen. Untuk aspek pekerjaan, 49 persen warga keberatan jika orang HTI menjadi guru di sekolah negeri, NII 46 persen, FPI 37 persen. Sementara keberatan bila orang HTI menjadi pejabat publik sebesar 52 persen, NII 47 persen, dan FPI 41 persen.
Saiful menerangkan bahwa sumber intoleransi di samping nilai-nilai yang dianut dan tidak disetujui oleh masyarakat, juga mencakup aspek legalnya, yakni jika negara tidak mengakui, misalnya komunis, ISIS, Yahudi, LGBT, HTI, FPI, dan NII.
“Faktor negara seperti undang-undang dan ideologi yang dianut negara membentuk perilaku masyarakat,” jelasnya.
Saiful menyimpulkan bahwa Indonesia masih memiliki masalah yang besar terkait toleransi. “Dan saya yakin itu menjadi sumber bagi tidak mudahnya berkembangnya kebebasan dan demokrasi di negara kita,” pungkasnya.
Saiful menjelaskan bahwa pada masyarakat yang majemuk, ada kebutuhan akan toleransi. Dalam banyak studi, keberhasilan demokrasi di suatu negara sangat terkait dengan tingkat toleransi yang berkembang.
“Kita berharap bahwa toleransi tumbuh di Indonesia dan itu akan menyumbang pada penguatan demokrasi di Indonesia,” kata guru besar ilmu politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Survei ini dilakukan secara tatap muka pada 10-17 Mei 2022. Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah Berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Dari populasi itu dipilih secara random (stratified multistage random sampling) 1220 responden. Response rate (responden yang dapat diwawancarai secara valid) sebesar 1060 atau 87%. Sebanyak 1060 responden ini yang dianalisis. Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar ± 3,07% pada tingkat kepercayaan 95% (asumsi simple random sampling). (BW)