Ragi Umat Katolik Menghadapi Tahun Politik 2024

Ad Widget
Tokoh-tokoh Katolik/Dok. Colase-Ist

Nusantaraaktual.com, Jakarta – Saat ini menjadi silent minority tidak arif lagi, mungkin tindakan yang tidak terpuji. Spirit kemartiran saat ini adalah pilihan imperatif: terlibat dan menyuarakan kebenaran.

Pada hakekatnya politik adalah suatu “seni”. Istilah ini sudah didengungkan sejak Yunani dan Romawi Kuno dengan istilah art politica (seni berpolitik). Sebagai seni, politik diharapkan bermuarah pada bonnum commune (kesejahteraan bersama). Sebab politik pada hakekatnya adalah sesuatu yang baik, untuk kebaikan umum.

Gereja Katolik memandang politik sebagai sesuatu yang pada hakekatnya baik, mutlak, perlu bagi manusia dan berpijak pada kemanusiaan. Kendati begitu, politik tak pernah lepas dari kesan negatif. Terkait hal ini, posisi Gereja jelas selalu mengajak semua pihak untuk kembali kepada visi dan misi politik yang sesungguhnya.

Penekanan Gereja seutuhnya pada pembaharuan politik dengan fokus pada beberapa hal: pertama, perubahan politik citra dan politik uang menjadi politik kompetensi dan pengabdian. Kedua, perubahan politik sektarian dan premordialis menjadi politik yang terbuka dan pluralistik. Ketiga, politik harus mengusung perubahan dari “politik top down” menjadi “politik bottom up”. Keempat, perubahan dari politik struktural otoritatif menjadi politik konstitusional fungsional dan demokratis.

Spirit Kemartiran

Empat sikap ini menguatkan Gereja dalam kiprah di bidang politik. Melihat arah politik Indonesia, Gereja Katolik mendukung partisipasi aktif kaum awam. Meningkatkan partisipasi aktif dalam hidup menggereja dan bermasyarakat tentu merupakan salah satu himbauan pokok dari Ajaran Sosial Gereja Rerum Novarum, 1881, oleh Paus Leo XIII-kemudian dilanjutkan para Paus lainnya.

Paus Yohanes XXIII, misal, dalam semangat aggiornamento-nya menggarisbawahi pentingnya hak pribadi manusia dalam mewujudkan dan menikmati hasil pembangunan secara adil. Sementara itu, Konsili Vatikan II menekankan aspek partisipatif dalam hidup menggereja dan bermasyarakat. Sedangkan Paus Paulus VI dengan lebih jelas mengaitkan masalah partisipasi ini dengan keluhuran martabat manusia.

Ketua Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Mgr Vincentius Sensi Potokota mengatakan, setiap warga Gereja dipanggil untuk semakin peka terhadap tanda-tanda dan perkembangan zaman. Kepekaan ini setidaknya akan menimbulkan kerinduan untuk menanggapi dan membangun dunia yang sedang dalam proses penyempurnaan.

Partisipasi aktif, menurut Uskup Agung Ende ini, tidak hanya berhenti pada lapisan kesadaran dan pengetahuan, tapi juga menembus dalam tindakan nyata. Sasaran partisipasi ini selalu tertuju pada kesejahteraan manusia, sebab manusia adalah subjek dan sasaran segala jenis pertumbuhan. Gereja yang partisipatif berusaha agar kehidupan bersama sungguh bisa menjamin dan menyalurkan kesejahateraan bersama.

Jenis dan partisipasi dalam masyarakat bisa berbeda-beda. Di bidang bela negara, para pahlawan Katolik seperti Ignatius Slamet Rijadi, Agustinus Adisucipto, Yos Sudarso, dan Tjilik Riwut telah membuktikan partisipasi mereka. “Mereka telah menjadi orang-orang yang kreatif. Saat ini menjadi silent minority tidak arif lagi, mungkin tindakan yang tidak terpuji pula. Spirit kemartiran saat ini adalah pilihan imperatif yaitu terlibat dan menyuarakan nilai-nilai kebenaran yang ‘diperkosa’ karena banyak kepentingan. Tentu bukan pencitraan dengan menegakkan kebenaran,” tegas Mgr Potokota.

Politik Partisipatif

Menyinggung soal spirit kemartiran imperatif di bidang politik, indikasi utama adalah keterlibatan kaum awam Katolik sebagai Anggota Dewan. Membaca data Pasca-Reformasi, keterlibatan umat Katolik dalam politik Indonesia melahirkan tidak banyak orang-orang Katolik dalam posisi jabatan publik di pemerintahan pada tingkat daerah maupun tingkat nasional. Misal, tepat Hari Kesaktian Pancasila, Rabu, 1 Oktober 2014, sebanyak 555 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI hasil Pemilihan Umum Legislatif 2014, dilantik.

Data yang dihimpun dari Komisi Kerawam KWI menyebutkan diantara anggota 555 DPR RI yang dilantik, terdapat 19 orang yang beragama Katolik. Pada saat bersamaan, juga dilantik 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Diantara mereka, terdapat enam anggota DPD RI yang beragama Katolik.

Dari 19 anggota parlemen yang beragama Katolik muncul wajah-wajah baru. Pada periode sebelumnya terdapat dua wajah perempuan, sementara pada periode 2014-2019, terdapat lima perempuan Katolik yang menjadi wakil rakyat. Salah satunya Maria Yohana Esti Wijayati yang akrab disapa Esti.

Saat dihubungi Esti mengatakan, dirinya memulai debut politik tahun 1998 dengan satu tekad memberikan warna kebaikan dalam setiap karyanya. “Sebagai orang Katolik, saat saya bekerja di manapun, saya harus mampu mewarnai dengan baik, menunjukkan keberpihakan kepada yang miskin, termajinalkan, dan difabel,” ujarnya.

Esti pun mengharapkan agar orang Katolik khususnya kaum muda tidak alergi terhadap politik. “Umat Katolik harus merasul sampai semua lini kehidupan, termasuk politik. Jangan berpikir politik itu kotor! Kalau kotor, peran kita sebagai orang Katolik membersihkannya. Sebab jika terus berpikir demikian, bagaimana kita mau mewartakan kabar gembira?” tantangnya.

Dari komposisi 19 anggota DPR RI yang beragama Katolik nampak fenomena menarik. Dari 19 nama, terdapat enam orang yang mewakili daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur I. Enam jatah kursi dari daerah pemilihan ini semua diisi umat Katolik. Sementara, terdapat empat orang yang mewakili daerah pemilihan Kalimantan Barat. Dua daerah pemilihan ini memang dikenal sebagai lumbung suara umat Katolik. Sementara sembilan yang lain tersebar mewakili daerah pemilihan di Pulau Sumatra dan Pulau Jawa.

Berdasarkan partai yang menjadi kendaraan politik 19 anggota parlemen yang beragama Katolik, PDI Perjuangan mendominasi dengan 10 anggota. Sementara Partai Gerindra tiga orang, Partai Demokrat dua orang. Partai Hanura, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Nasdem, dan Partai Golkar, masing-masing satu orang.

Politik Kasih

Saat ini bisa dikatakan banyak “seniman politik” yang beragama Katolik. Publik sendiri melihat tiga orang yang menampakkan wajah kekatolikan yang sesungguhnya. Mereka tidak saja sebagai anggota partai tetapi mendapat kedudukan strategis sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) partai. Mereka adalah Sekjen Partai NasDem Jhony G Plate, Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, dan Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan.

Jhony G Plate saat dihubungi mengatakan setuju bahwa politik itu adalah seni berbagi kasih kepada masyarakat. Seorang anggota legislatif adalah wakil rakyat maka segala kebijakan apapun harus berpihak kepada rakyat. “Kita dipilih rakyat supaya berpihak kepada kepentingan mereka. Dosa bila menolak keinginan rakyat dan mencari keuntungan sendiri,” ujar Jhony.

Sebagai orang Katolik, Jhony mengakui bahwa harus mampu menjadi ragi di tengah politik krasak-krusuk zaman ini. Bila tidak mengendepankan ajaran kasih Yesus, kata Jhony, mungkin orang Katolik di legislatif hanya sekadar ikut arus: yang penting digaji.

Dirinya melihat politik itu bukan asal digaji tetapi tetapi memberi rasa dalam membuat kebijakan. “Ini tantangan sebab terkadang kita harus berhadapan dengan jutaan keinginan yang kadang memaksakan kita mengalah,” pungkasnya.

Sementara itu, Hasto Kristianto membeberkan bahwa politik dalam kaca mata Katolik berarti inklusif (non diskriminasi), mengarah pada prefential option for the poor, solidaritas dan subsidiaritas, dan menghargai Hak Asasi Manusia. Maka politik menurut Hasto berarti merasul di tengah dunia. “Orang Katolik perlu bergerak keluar dari ‘persembunyian’ agar berani mewartakan Kabar Gembira kepada semua orang,” katanya.

Kendati politik itu “bebas keluar dari persembunyian”, Hinca Panjaitan mengingatkan orang Katolik agar taat pada rambu-rambu moral, etika, dan sopan-santun yang berlaku. Orang Katolik, bagi Hinca, harus meneruskan energi perjuangan para pahlawan. Maka perlu sebelum terjun dalam dunia politik memahami dengan betul rambu-rambu yang berlaku. “Energi perjuangan terus akan menjadi energi positif bila kita taat pada aturan yang berlaku,” jelasnya.

Hinca memandang akhir-akhir ini politik kadang sarat kepentingan. Tetapi dirinya mengingatkan bahwa dalam politik prinsip utama yang juga menjadi prinsip Gereja adalah principiis unitas (kesatuan). Apapun kepentingan, pilihan, pola pikir tetapi jangan sampai karena politik orang Katolik terpecah belah. “Katolik itu harus terbuka kepada semua tetapi perlu kesatuan dari dalam tubuh Gereja,” demikian Hinca.

Related Posts

Ad Widget

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *