Nusantaraaktual.com, Jakarta – Membangun infrastruktur yang dinilai sebagai keberhasilan Presiden Joko Widodo di periode I, tidak lagi menjadi prioritas di periode II. Sebaliknya di periode ini, Jokowi memilih fokus memperbaiki Sumber Daya Manusia.
Ketua Umum Pemuda Katolik, Stefanus Asat Gusma menyebut, pilihan prioritas SDM bagi pemerintahan Jokowi adalah urgensi bangsa bila dibandingkan dengan negara lain. Indonesia dianggap masih jauh tertinggal. Di saat pemerintah sering menyinggung revolusi industri 4.0, nyatanya masih banyak anak pelosok yang belum mengenyam pendidikan layak.
Kendati begitu, sebut Gusma, Jokowi masih memilik konsen terkait tema ini. Ia telah meninggalkan dua legacy yang layak diakui semua warga masyarakat. Di bandingkan dengan pemerintahan sebelumnya, Jokowi adalah bapak Indonesia Sentris. Presiden Jokowi ingin memberikan warisan Indonesia Sentris pada akhir pemerintahannya. Ia ingin memberikan pemerataan pembangunan dan pemerataan SDM bagi seluruh rakyat Indonesia. Segala sektor harus merata agar terwujud keadilan bagi anak bangsa.
Gusma memberi contoh perhatian Jokowi kepada wilayah Indonesia Timur sangat besar. Daerah pinggiran menjadi prioritas. Banyak daerah terluar yang tertinggal dan itu perlu dibangun agar ada pemerataan. Saat ini juga pembangunan infrastruktur tidak lagi membuat Jawa-sentris tetapi Indonesia sentris.
“Jadi legacy adalah tidak boleh ada satu daerah di Indonesia yang tertinggal. Semua harus merasakan pembangunan infrastruktur dan pembangunan SDM,”sebut Gusma dalam Diskusi Publik Organisasi Lintas Agama di Lt. 2 Cofebruk, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis, (21/2022)
Indonesia memang tak hanya pulau Jawa semata. Tersebar setidaknya 17 ribu pulau di perairan Indonesia. Pembangunan infrastruktur yang dilakukan secara merata di seluruh Indonesia ini jelas menunjukkan tekad pemerintah untuk menyatukan bangsa yang sejak dahulu diperkaya dengan keberagaman ini.
“Inilah yang akan mempersatukan bangsa kita. Karena dari Aceh bisa langsung terbang ke Papua, dari Aceh bisa langsung berlayar ke Timur, ke Sulawesi, ke Ambon, dan yang lain-lain. Tanpa itu persatuan kita akan sulit untuk kita jalin. Jadi arahnya bukan hanya masalah harga, tetapi juga berkaitan dengan persatuan kita,” tegasnya.
Selain itu, Gusma juga mengutarakan bahwa pemindahan Ibu Kota adalah bentuk legacy kedua yang besar dari Presiden Jokowi. Gagasan pemindahan Ibu Kota dapat direalisasikan menjadi kebijakan negara atau undang-undang.
Negara ini, sebut Gusma sebelumnya tidak mempunyai pengalaman untuk memindahkan Ibu Kota kecuali masa revolusi. “Dalam keadaan tidak berperang seperti ini, aspek pemindahan Ibu Kota bisa dilakukan dengan aspek politik yang digodok dalam sebuah peraturan yang bisa menguntungkan bersama,”sebutnya.
Diskusi publik ini dihadiri oleh para ketua umum dan perwakilan, di antaranya: Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Sunanto; Bendahara Umum PP GP Ansor, Addin Jauharudin; Ketua Umum Pemuda Katolik Stefanus Asat Gusma; Sekjen Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia Samporno Sejati; Perwakilan Pimpinan Pusat Generasi Muda Mathlaúl Anwar; Ketua Umum Generasi muda Khonghucu, Kristan; Ketua umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Masri Ikoni; Pengurus Pusat Generasi Muda Buddhis, Supriyanoto; dan Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia, Sahat Martin Philip Sinurat.
Sunanto dari Muhammadiyah menjelaskan kegiatan ini adalah bentuk menguatkan resonansi persatuan di antara Pemuda Lintas Agama. “Kedepannya akan ada beberapa program yang bisa dibuat misal live in keagamaan atau Deklarasi Negarawan Lintas Agama dan kegiatan-kegiatan lainnya,” sebutnya Sunanto.
Sunanto berharap pemuda lintas agama tidak sekadar mengambil saripati dari pemerintahan yang manis-manis saja dan tidak memberi kritik. Karena kritik dari anak lintas agama perlu untuk menguatkan persatuan bangsa.