Nusantaraaktual.com, Jayapura – Dalam rangka Dies Natalis Pemuda Katolik yang ke-77, Pemuda Katolik Komisariat Daerah Papua dan Departemen Gugus Tugas Papua, melakukan Webinar bertema, “Peran Pemuda Dalam Melindungi dan Mengelola Hutan Masyarakat Adat di Tanah Papua,” Rabu, (16/11/2022).
Webinar yang diikuti 60 lebih peserta itu dibawakan oleh beberapa narasumber di antarnya, Ketua Komda Papua Barat, Yustina Ogoney; anggota DPR Papua, Jhon NR Gobay; Direktur Yayasan Econusa (ekosistem nusantara berkelanjutan) wilayah Papua, Maryo Saputra Sanudin; dan Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay.
Tanah Ulayat
Webinar ini dimoderatori, Ketua Bidang Perempuan dan Anak PP Pemuda Katolik, Alfonsa Jumkon Wayap ini dibuka oleh sambutan singkat Ketua Departemen Gugus Tugas Papua, Melkior Sitokdana.
Melkior berpesan agar sesi webinar kali ini, diharapkan keaktifan pemuda-pemudi untuk bersama-sama melihat dinamika masyarakat adat, hutan dan alamnya yang semakin mengalami pengakuan dari negara. Untuk itu, perlu terus diperjuangkan bersama.
Dari pemaparan para pemateri, ada beberapa catatan penting bagi generasi muda-mudi Papua yang disampaikan Yustina, pertama terkait peran pemuda pada masingmasing wilayah adatnya. Mulai dari batas-batas masing-masing marga. “Pemuda jangan lagi mengatakan, urusan hutan adat ada pada orangtua. Saya mengajak pemuda-pemudi, mari kita menyadari bahwa hutan adat itu adalah milik generasi penerus, kita-kita inilah yang akan menjadi pewarisnya.”
Ia juga berpesan kepada setiap anak Papua, dengan tiap-tiap marganya, minimal tahu batas-batas hak ulayatnya. Menurutnya, keterlibatan pemuda-pemudi dalam wilayah adat itu sangat penting. Pemuda dengan tingkat pendidikan, wawasan yang luas, harus bisa menjadi advokat bagi masyarakat adat. Kembali ke dusun, wilayah adat masing-masing dan lakukan pemetaan wilayah adat masing-masing.
Ia mencontohkan seperti di wilayahnya teluk Bintuni. Khususnya, wilayah adat marga Ogoney. Itu merupakan satu gerakan anak-anak muda yang cukup solid. Mereka terlibat dalam pemetaan wilayah, sosialisasi perda, hingga tahap usulan ke kementrian. Dan pada akhirnya, bisa diakui atau mendapat pengakuan dari negara.
Pihaknya, merasa pengakuan yang diberikan pemerintah kepada masyarkat adat, marga Ogoney merupakan satu langkah maju. Namun, kata Yustina, “Pengakuan itu benar ada di atas kertas. Saya melihat, itu belum benar-benar memberikan jaminan kepada masyarakat adat. Perlu adanya perencanaan program dan juga biaya supaya masyarakat adat bisa mengelola hutan adatnya secara mandiri dan berkelanjutan.”
Banyak Industri
Sementara itu, Maryo Saputra Sanudin, mengemukakan pandangannya soal EcoNusa yang fokus kerjanya di Papua dan Maluku Utara. Berdasarkan data yang ada, hutan yang boleh dibilang utuh ada di Papua, Papua Barat dan Maluku Utara. Sedangkan di wilayah Sumatera,Kalimantan dan lainnya telah mengalami deforestasi.
Khusus di wilayah Papua Selatan, potensi kehilangan hutannya sangat tinggi. Di sana banyak industri besar. Mulai dari industri sawit dan tripleks serta pembongkaran lahan untuk perusahaan paling tinggi (industri sawit) mencapai 2 juta lebih hekater lebih itu bukan hanya di selatan Papua. Tapi hampir di seluruh Papua. “Sedangkan hari ini, Papua hanya memiliki luasan hutan seluas 33 juta hektare. Untuk Papua Barat, seluas 8 ribu lebih hektar.”
Sebutnya lagi di wilayah Merauke, Nabire dan Sorong banyak industri sawit. Total izin, sawit, 1, 2 sawit hanya berada di delapan kabupaten. Di wilayah Sorong memiliki 600 ribu lebih ijin sawit. Meski belum lama ini sebagian ijin telah dicabut ijinnya. Tapi, perlu diingat, pemilik lahan terbesar di Indonesia adalah pihak swasta, mereka menguasi 98 hektare hutan.”
Yang lebih miris lagi, kepemilikan hutan masyarakat adat sangat kecil. Mencapai, 12, 15 persen. Meskipun melalui Kongres AMAN-VI di Kabupaten Jayapura, yang berlangsung (24- 30, Oktober 2022) lalu. Pemerintah Pusat telah menyerahkan SK kepada masyarakat adat. Termasuk 23 hutan adat di Kabupaten Jayapura dan beberapa di Teluk Bintuni.
Ditambahkan, yang menjadi pekerjaan rumah Pemuda Katolik dan pemuda lainnya adalah bagaimana supaya ada pengakuan dari pemerintah terhadap hutan adat di Papua yang belum mendapat pengakuan dari pemerintah pusat.
Sedangkan Emanuel Gobay dalam pemaparannya mengatakan, terkait pengakuan dan eksistensi hutan masyararakat adat di Tanah Papua, menurutnya belum benar-benar dihargai negara. “Kondisi saat ini, negara belum sepenuhnya menghargai eksistensi adanya masyarkat adat. Padahal sudah jelas-terteda dalam UUD 1945 pasa 18 ayat g, negara mengakui eksistensi masyarakat adat, kepemilikan hutan adat,” tegasnya.
Hingga ada Putusan Mahkama Konstitusi (MK) Nomor 35 tahun 2012, mengegaskan tentang esksitensi hutan adat yang dimiliki masyarkat adat. Ini kemudian semakin kuat. Ini adanya fakta perlindungan terhadap hutan adat oleh masyarkat adat itu sendiri.
Yang sangat disayangkan Emanuel, sekalipun sudah ada pengakuan di atas. Namun, fakta hari ini, tidak ada masyarakat adat yang dilibatkan dalam pemberian izin intervensi pemerintah pusat kemudian memberikan izin kepada perusaan HPH atau HGU. Perusahan-perusahaan ini cenderung diberi lebel objek vital. Di situ ada TNI/Polri.”
Respon Peserta
Inuri, peserta dari Timika yang pernah bekerja di PT. Freeport Indonesia mengapresiasi diskusi yang dibuat Pemuda Katolik kali ini. Pengrusakan hutan masyarakat adat hingga tak ada lagi pohon. Ditu terjadi dilingkungan PT. Freeport. Hal ini sangat mempengaruhi ke tepian sungai-sungai besar. Maka, disarankan, perlunya reboisasi. Tapi, apakah, dengan reboisasi menjawab kerusakan hutan?
Maka, pesannya kepada pemuda-pemudi. “Anak muda perlu ambil peluang, bagaimana dia bisa mengkonsolidasikan anak muda di kampung. Untuk memproteksi dini. Jangan sampai seperti di Timika. Perlu adanya perdasi dan perdasus.”
Menyangkut Perdasi kata Jhon Gobai, “Kami telah merancang dan mengusulkan kepada gubernur sejak, 2017. Maka keluarlah Perdasi Nomor 5 tahun 2022 tentang pengakuan, perlindungan masyarakat hukum adat di Provinsi Papua. Dan itu sudah ditandatangani dan disahkan Gubernur Papua pada 2022.
Jhon berpesan kepada pemuda agar harus terus berkonsolidasi untuk mendorong agar terbentuknya Perdasi dan Perdasus. Juga disahkannya UU Perlindungan Masyarakat adat oleh DPR-RI. Sudah 10 tahun lebih, belum ada kejelasan pengesahan. “Pemuda, ingat, Papua ini kaya, orang Papua harus berdiri dari tanahnya sendiri. Jangan membuka ruang kepada orang lain yang datang untuk mencari. Kita sendiri yang harus kelola sumber daya alam di dusun dan kampung kita,”pesannya.
Di akhir webinar, Jhon mengatakan,” Dari izin yang diberikan: menurut data dari Econusa- tidak ada lagi tanah adat. Hutan sudah dikuasi perusahaan-peusahaan besar. Dalam kondisi ini, yang menjadi pertanyaan. Apa yang mesti dilakukan anak muda hari ini dan akan datang? Pertama, perlu paham soal, sadar dan ambil peluang. Kita harus jadi tuan di negeri sendiri (Tanah Papua),” tutup Jhon Gobai.