Bangun Aksi Nirkekerasan; Menolak Punah

Ad Widget
Efrial Ruliandi Silalahi

Oleh : Efrial Ruliandi Silalahi

Ketua Bidang Ekologi Pemuda Katolik Komda DKI Jakarta 

Dunia sedang tidak baik-baik saja. Pada April lalu, semua wilayah di berbagai belahan dunia merayakan Hari Bumi. Perayaan tahunan ini sebagai wujud menghormati pencapaian gerakan lingkungan serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya keberlanjutan ekologis untuk jangka panjang.

Semua kalangan, termasuk ilmuwan, sudah mulai pesimis akan upaya menekan pemanasan global hingga 1,5 derajat celcius yang mustahil akan tercapai di akhir abad ini. Bumi, rumah dan tempat kita bersama tinggal ini tengah menghadapi konsekuensi nyata dari krisis iklim. Bukan rahasia lagi bahwa bumi semakin panas dan membara.

Bumi yang semakin panas dan membara, aktivitas kita semua yang telah meningkatkan emisi karbon dan gas rumah kaca lainnya ke atmosfer.

Realitanya bahwa kita berada di situasi darurat akibat sistem ekonomi politik yang dikuasai industri ekstraktif yang terus menerus mengeksploitasi alam, hutan, lahan dan lautan secara masif, sistematis dan terstruktur yang masih terus dimudahkan dan difasilitasi oleh pemangku kepentingan.

Ketakutan atas kepunahan itu nyata, tanpa iklim yang bisa mendukung kehidupan manusia, kita akan menjadi tidak lebih dari sekedar cerita.

Secara ilmiah sudah jelas, banyak literatur maupun hasil riset tentang krisis ekologi yang terjadi saat ini. Maka kita harus memangkas penggunaan energi fosil, termasuk batubara, dan beralih ke energi bersih secepat mungkin melalui transisi energi yang berkeadilan. Masyarakat seringkali mendengar penggunaan kata “komitmen” dan “transisi energi” di pemberitaan, namun yang dilakukan justru sebaliknya.

Tetap memaksakan dan meningkatkan produksi dan konsumsi batubara, baik dari segi kapasitas, hilirasasi, dan perluasan pertambangan, melalui skema pajak, subsidi, hutang, maupun institusi perbankan yang berinvestasi secara langsung.

Ribuan ilmuwan di seluruh dunia mulai bergerak dan berkampanye mengenai krisis iklim dikarenakan negara-negara dunia masih saja tidak melakukan yang seharusnya dilakukan untuk menyelamatkan kita semua dalam situasi krisis iklim.

Negara-negara dunia, terutama negara yang tergabung dalam G20, masih terus memperburuk situasi melalui pendanaan terhadap industri ekstraktif, terutama di sektor energi fosil dan deforestasi. Dengan dalih ingin memajukan kesejahteraan, yang dilakukan justru merampas hak hidup kita semua yang setiap harinya semakin memperburuk kualitas udara, air bersih dan lainnya.

Deforestasi menjadi salah satu penyebab dari kenaikan suhu bumi yang terjadi belakangan ini. Dari 1,1 derajat celcius pemanasan yang terjadi sejak era praindustri, Laporan IPCC menemukan bahwa kurang dari 0,1 derajat celcius disebabkan oleh kekuatan alam, seperti gunung berapi atau variasi matahari. Laporan ini menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim akan menjangkau semua kawasan di dunia tanpa terkecuali, sehingga kerugian manusia dan ekonomi yang diakibatkan akan sangat besar, jauh melebihi dari biaya yang harus dikeluarkan untuk mengambil tindakan sekarang.

Kekeringan dan kebakaran hutan akan semakin sering terjadi yang tentunya akan berdampak pada mata pencaharian, pertanian, sistem air serta ekosistem. Perubahan salju, kutub utara, dan banjir sungai diproyeksikan akan berdampak pada infrastruktur, transportasi, produksi energi hingga sektor pariwisata.

Laporan Terbaru Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), selain menegaskan penghentian segera pembakaran batubara, penebangan hutan dan pembakaran kayu pohon untuk energi juga justru menjadi tidak masuk akal.

Perlindungan dan pemulihan hutan sangat penting untuk menyimpan dan menyerap karbondioksida secara alami. Karena itu, tindakan penebangan hutan dan pembakaran kayu pohon untuk energi seperti program Hutan Tanaman Energi (HTE) bertentangan dengan upaya penanganan krisis iklim.

Saat negara lain berusaha mencoba berhenti menggunakan energi fosil, Indonesia justru berusaha memperpanjang usia PLTU-PLTU batubara terutama yang masa operasinya sudah tua dengan metode co-firing biomassa, di mana pemerintah menciptakan istilah Hutan Tanaman Energi (HTE) untuk memasok bahan baku biomassa ini.

Bicara Jakarta, kembali menjadi kota dengan udara terburuk di dunia. Selain padatnya kendaraan dan hiruk pikuk ibukota, puluhan PLTU yang mengepung Jakarta menyumbang jutaan ton polusi setiap harinya. Ironisnya, pemerintah masih ingin membangun PLTU baru seperti PLTU Jawa 9 dan 10 di wilayah Banten. PLTU baru hanya akan memperparah polusi dan merusak kehidupan warga sekitarnya. Bongkar muat batubara yang hanya berjarak 2 kilometer dari pemukiman mengancam Kesehatan warga Marunda, Jakarta Utara. Batuk, iritasi mata, gangguan saluran pernapasan, hingga permasalahan ekonomi menantang keseharian warga, terutama para kelompok rentan seperti perempuan, ibu, dan anak. Seorang anak bahkan harus putus sekolah karena sakit pernapasan akibat debu batubara.

Udara Jakarta sedang tidak baik-baik saja alias tidak sehat. Jakarta menempati urutan pertama sebagai wilayah dengan kualitas udara terburuk di dunia. Hal ini membawa bahaya bagi masyarakat, karena menurut data WHO, polusi udara memakan korban 7 juta jiwa di seluruh dunia selama setahun.

Pemicu utama dari memburuknya kualitas udara Jakarta menurut Laporan IQ Air menyebut salah satu  faktornya dipengaruhi populasi yang begitu besar, jalan dipenuhi dengan kendaraan bermotor. Dengan banyak yang masih menggunakan bahan bakar diesel, menghasilkan tingkat  emisi yang jauh lebih tinggi. Kualitas udara tidak sehat di Jakarta bukan yang pertama kali. IQ Air mencatat data kualitas udara Jakarta pada 2017, 2018 dan 2019 terus mengalami peningkatan.

Saat ini upaya dunia dalam mengatasi krisis iklim masih berada jauh dari target yang ditetapkan oleh Perjanjian Paris, yakni untuk menahan laju kenaikan suhu rata-rata dunia di bawah 1,5 derajat celcius. Bahkan banyak pakar mengatakan bahwa dunia sedang melaju menuju kenaikan suhu sebanyak 2,4 hingga 2,7 derajat pasca Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim COP26 sekalipun. Hal ini merupakan hukuman mati bagi berbagai negara miskin dan negara kepulauan.

Sistem ekonomi yang sudah jelas merupakan sistem yang rusak ini merupakan masalah besar yang memerlukan solusi yang besar, sistemik dan menyeluruh dengan segera.

Delusi inilah yang masih membawa kita menuju malapetaka. Untuk merubah hal ini, perubahan sistem harus terjadi. Ini tidak akan terjadi tanpa dorongan dan tekanan dari masyarakat untuk menuntut keadilan iklim demi keberlangsungan hidup kita semua.

Mari kita mengajak teman-teman, saudara, kerabat, untuk ikut serta dalam aksi digital dengan mendesak para pemangku kepentingan untuk berhenti mendanai batu bara. Mari bergabung untuk menunjukkan solidaritas, kebersamaan, dan saling menghibur di bumi yang sudah semakin sekarat akibat ketidakbijakan sistematis, agar kita dapat mendapatkan kekuatan baru untuk bisa lebih efektif dan bersemangat untuk berjuang Bersama.

Kita sebenarnya mempunyai berbagai solusi untuk penanggulangan krisis iklim beserta dengan kemampuan pendanaan, teknologi, dan kapasitas intelektual yang memadai. Namun, absennya niat dari pemangku kebijakan (political will) membuatnya menjadi rumit. Sebagai masyarakat sipil, kita perlu mendorong niat itu melalui suatu gerakan Bersama.

Penelitian Stephan dan Chenoweth Tahun 2008 menunjukkan bahwa dibutuhkan 3,5% warga populasi setempat untuk melakukan aksi langsung tanpa kekerasan secara konsisten untuk membawa perubahan yang bersifat sistemis.

Mari menjadi bagian dari saksi hidup perjuangan masyarakat untuk menolak kepunahan. Berbagai aksi nirkekerasan dilakukan untuk menyatakan hal yang sama. Perjuangan untuk bumi bersifat universal, tidak pandang suku, agama, ras, status sosial, atau atribut apapun. Perjuangan ini terbuka bagi siapapun yang mau bersuara, baik kelompok maupun perorangan. Menghentikan pendanaan energi kotor dan mengkampanyekan deklarasi darurat iklim.

Melakukan perubahan sistemik dalam bidang ekonomi dan politik untuk menyelamatkan bumi dengan kekuatan masyarakat maka perubahan itu akan segera menjadi realita.

Hal ini bisa diraih melalui partisipasi para individu dengan membangun kesadaran kolektif untuk bergerak dengan satu tujuan yang sama. Salah satu upaya kongkret yang bisa kita lakukan adalah bergabung dengan individu/komunitas yang mempunyai konsen yang sama, bila ternyata belum bisa menginisiasinya.

Membangun aksi nirkekerasan tentu memiliki banyak manfaat, diantaranya yaitu agar pemangku kepentingan mengetahui bahwa kita (masyarakat) peduli dengan krisis iklim. Bila dibandingkan dengan aksi anarkis, aksi masa tanpa kekerasan cenderung lebih berhasil.

Bila dilakukan setidaknya oleh 3,5% dari populasi setempat, sejarah membuktikan bahwa tingkat keberhasilannya 100% untuk membawa perubahan sistemis, bahkan dalam kasus kediktatoran yang brutal.

 

Related Posts

Ad Widget

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *