Nusantaraaktual.com, Papua – Tepat 30 Agustus 1999, Timor Leste (Timor-Timur) menggelar jajak pendapat untuk memilih melepaskan diri atau tetap bergabung dengan Indonesia. Masih segar dalam ingatan Diana Cristina da Costa Ati, saat referendum itu umurnya masih kurang dari dua tahun. Sang ayah yang berdarah Timor Leste tetap memilih kembali ke negaranya, sementara ibu dan Diana memilih kembali ke Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Saya dan ibu terpaksa harus berpisah dengan Ayah sampai sekarang. Kami hanya bisa bertemu di pintu batas,” cerita Diana. Baginya merah putih adalah “warna kulitnya”, tak akan dipisahkan sampai kapan pun.
Kecintaan kepada Indonesia terus terpatri di hati gadis 25 tahun ini. Itulah alasan setamat SMA, gadis kelahiran Timor Leste ini melanjutkan studi ke Universitas Nusa Cendana Kupang, NTT. “Pengalaman pergolakan soal kewarganegaraan di masa kecil membuat saya semakin hari mencari cara untuk menunjukkan kecintaan pada bangsa. Bahkan waktu kuliah saya memilih jurusan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.”
Jurusan ini lantas membawanya sampai ke Papua. Ia memilih menjadi guru di daerah terpencil yaitu Sekolah Dasar Kaibusene, Distrik Haju, Kabupaten Mappi, Provinsi Papua. “Saya bangga mengabdi di wilayah terluar. Saya ingin membuktikan ketulusan hati saya sebagai warga negara yang baik sekaligus guru yang tulus mendidik anak-anak Papua.”
Tanah Kaya
Ketika tiba di Papua, Diana sudah jatuh cinta pada lagu Edo Kondologit. Liriknya…“Tanah kami tanah kaya, kami berenang di atas minyak, tidur di atas emas…” Menurut Diana lirik lagu ini memiliki pesan yang sangat mendalam. Ia meyakini bahwa anak-anak Papua itu lebih hebat dari anak-anak kota lainnya. Mereka bebas bermain tanpa gedget, mereka tangguh di hutan, mereka pandai berburu, bertani dan menangkap ikan.
Diana berujar, lagu berjudul “Suara Kemiskinan” ini menggambarkan kondisi Papua. Tanah Papua, tanah yang terberkati. Sangat kaya akan sumber daya alam, tepat diibaratkan “penuh dengan susu dan madu”. Sayang masyarakatnya hidup dalam kemiskinan, kekurangan gizi, dan belenggu. Hampir tepat seperti pribahasa “bagai tikus mati di lumbung padi.”
Hal ini terlukis di Desa Kaibusene. Diana ingat ketika pertama kali bertemu anak-anak SD Kaibusene sama sekali tidak bisa menyebutkan identitas negara Indonesia. Mereka menyebutkan warna bendera Indonesia adalah Bintang Kejora. Lagu Indonesia Raya pun tak bisa dinyanyikan oleh murid kelas enam. Paling fatal lagi Pancasila tidak dihafal.
“Saya menangis pertama kalinya ketika melihat nasib anak-anak Indonesia di Papua. Kita tidak bisa menyalahkan mereka, sebab tinggal di daerah terpencil dengan kondisi sekolah serba terbatas ditambah minim fasilitas. Ruang sekolah hanya tiga ruangan, itupun bercampur,” kisahnya.
Diana menambahkan wilayah Kaibusene adalah daerah “sejuta rawa” dengan ikan betik di mana-mana. Bila tidak ada guru di sekolah, anak-anak terkadang menangkap ikan di rawa-rawa. Guru-guru juga membiarkan situasi itu dan bahkan tangkap ikan di rawa dijadikan kegiatan ekstrakurikuler sekolah.
Belajar Sambil Bermain
Anak-anak Papua sebenarnya memiliki mimpi yang sangat besar. Pernah ada anak yang berkata, “Ibu saya sudah capek seperti ini. Saya mau naik pesawat seperti bapak-bapak di Jakarta. Mereka naik mobil mewah, sedangkan saya tidak pernah. Mereka tidur di atas spons (busa/kasur), saya tidur di para-para (gazebo bambu). Saya mau minum air bersih. Saya mau jadi orang hebat…”
Dalam mendidik, Diana punya visi yaitu manfaatkan peluang apapun sebagai bahan ajar. Meski situasi serba terbatas, ia selalu menanamkan semangat nasionalisme kepada anak-anak. Diana selalu mendukung mereka untuk giat belajar. Tidak ada buku pelajaran, Diana tak hilang akal. Ia membuat buku pelajaran sendiri yang sesuai dengan kondisi anak-anak. Ia menulis tangan materi pelajaran lalu dibagikan kepada anak-anak. Buku-buku Kuriukulum 13 sangat sulit dipahami anak-anak. Buku-buku pelajaran yang ada cocok bagi orang-orang kota, tidak bisa diterapkan di pedalaman Papua. Misal, dalam buku ada contoh tentang alat transportasi kereta api, atau hewan-hewan seperti singa, zebra, pun contoh candi Borobudur. Jangankan melihat punya bayangan tentang contoh-contoh ini saja tidak pernah.
“Saya harus ekstra bekerja dan membuat buku pelajaran sendiri yang sesuai dengan kemampuan dan daya serap mereka. Paling mengena adalah metode bermain dengan alam sambil belajar. Terkadang bermain di rawa-rawa sambil berhitung, tiap pagi memetik mangga sambil menghafal perkalian, terkadang berdoa dalam bahasa Inggris sebelum makan hasil bakar batu.
Sebutnya lagi, tantangan tidak saja dari daya serap murid, tetapi juga dukungan keluarga. Para guru harus bersikeras memberi edukasi kepada orangtua murid tentang pentingnya belajar. Ada pola pikir bahwa tingkat kesuksesan anak Papua adalah ketika bisa berburu, bisa pangkur sagu, bisa membawa tombak, atau bisa memelihara babi. Masih ada orangtua yang gagal paham soal pentingnya pendidikan. Sekolah utama bagi mereka adalah membantu orangtua.
Pentingnya pendidikan ini membuatnya mendirikan perpustakaan “Merah Putih” dengan 500-an buku. Perpustakaan ini dibuka setiap hari pukul 16.00 WIT di rumah Diana. Anak-anak, termasuk orang dewasa, orangtua, bahkan kepala suku juga ikut belajar dan membaca di perpustakaan itu. Dari sekian buku itu, lebih banyak buku bertema Indonesia, nasionalisme, cerita pahlawan, ideologi Pancasila, dan lainnya.
Anak-anak paling gemar mengunjungi perpustakaan ini. Walau terkadang mereka menggerutu karena disamping perpustakaan itu ada pendatang yang menjual pisang goreng dengan harga tiga ribu per buah. Anak-anak sering protes karena pisang mereka di kebun banyak, tetapi yang dapat uang pendatang. “Saya selalu berpesan agar mereka tidak sekadar protes. Kalau mereka mau seperti orang pendatang, saya akan mengajari Anda buat pisang goreng,” katanya sambil menambahkan, “Sekarang murid itu menjadi penjual pisang goreng dan sering menjajakannya di sekolah.”
Selalu Tulus
Atas dedikasinya ini, Diana mendapat penghargaan dari Provinsi Papua sebagai guru teladan. Tidak saja itu, penghargaan datang dari Kabupaten Mappi sebagai guru yang kreatif dan tidak pernah absen untuk mengajar. Ia dinilai sebagai guru yang inspiratif karena metode pengjarannya yang mengena di hati siswa. Hal ini karena biasanya banyak guru yang bekerja di pedalaman Papua tidak memilih menetap di pedalaman. Mereka akan menetap di kota lantas seminggu bisa dua atau tiga kali ke pedalaman, itu kalau alam mendukung. Pernah guru meninggalkan sekolah tanpa berkabar karena wilayah yang jauh.
Diana percaya ketika seorang guru bekerja dengan niat baik, leluhur dan nenek moyang orang Papua merestui bahkan Tuhan melihat semua ketulusan itu dan akan melancarkan jalan. Hal itu terbukti ketika tiga bulan tinggal di Kaibusene, anak-anak sudah bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya, menghafal Pancasila, bisa baca dan tulis, termasuk sudah bisa menghafal kosakata bahasa Inggris.
Sebagai guru di pedalaman, tak sedikit rekan-rekannya bertanya, “Anda bertahan?”- dengan maksud mengejeknya. Diana hanya membalasa pertanyaan mereka dengan mengatakan, “Saya bertahan karena ada senyuman di wajah mereka dan ada ketulusan di hati saya.”
Diana percaya, anak-anak Papua memiliki mimpi yang luar biasa. Mereka ingin suatu ketika nanti seiring matahari terbit di ufuk Timur, mereka yang kulitnya hitam dan rambutnya keriting bisa menjadi orang nomor satu di negeri ini. “Mimpi itu luka, tapi luka jika diobati akan sembuh.”
Diana Cristina da Costa Ati
TTL : Timur Leste, 12 Agustus 1998
Pendidikan : Universitas Nusa Cendana Kupang, NTT
Pekerjaan : Guru di SD Kaibusene, Distrik Haju, Kabupaten Mappi, Provinsi Papua
Karya : Pendiri Perpustakaan Merah Puti di Distrik Haju
Penghargaan : Guru kreatif dari Provinsi Papua (2018)
Guru Teladan dari Kabupaten Mappi (2019)