Opini oleh: Hamja Sagala, ST (Wakil Sekretaris Bidang Politik dan Kepemiluan Pemuda Katolik Komda Kepulauan Riau)
Pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak dapat dilepaskan dari pemilu karena pemilu merupakan konsekuensi logis dianutnya prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi) dalam kehidupan berbangsa dan berbegara. Prinsip dasar kehidupan kenegaraan yang demokratis adalah setiap warga negara berhak ikut aktif dalam proses politik. Untuk itu, kualitas partai politik, baik keorganisasiannya maupun kiprahnya dalam kehidupan politik, sangat menentukan terciptanya wakil-wakil rakyat yang bermutu dan bertanggungjawab. Demikian pula pemilu merupakan proses untuk melakukan seleksi yang “menyeberangkan” tokoh-tokoh dari sektor kehidupan politik masyarakat ke sektor pemerintahan yang resmi sifatnya.
Dalam kurun waktu pelaksanaan Pemilu, khususnya pasca keruntuhan Soeharto, partai tumbuh dengan pesat dan terus mencari bentuk walaupun platform yang ditawarkan tidak asing lagi di telinga kita, seperti memutar lagu lama atau berlomba menjual kecap nomor wahid yang menyingkirkan substansi detail dari konkritisasi kinerja secara spesifik, tidak fokus pada apa yang akan mereka kerjakan melalui mesin politik guna kebaikan rakyat sebagaimana amanat konstitusi. Tegasnya secara periodik isu who gets what, when, where, how, why, and what impact sebatas komoditas headline surat kabar, namun titik singgung krusialnya tidak menyentuh akar persoalan, sehingga kualitas partai berikut visi misi yang diusung semakin diragukan mampu merespon aspirasi rakyat, terlebih nuansa kepentingan politik menjadi berhala mengalahkan fakta dan kebutuhan sosial itu sendiri yang pada akhirnya mempengaruhi sistem demokrasi di negara ini. Berbagai persoalan yang terjadi sampai saat ini memang belum sampai pada titik yang benar-benar mengancam pelaksanaan pemilu.
Fakta menunjukkan bahwa demokrasi di tingkat lokal dibajak oleh kepentingan modal dan kekuasaan. Praktik politik uang dan politisasi birokrasi mendominasi pelaksanaan pemilu. Operasi pembajakan demokrasi melibatkan dana puluhan miliar rupiah. Hitung saja berdasarkan item pengeluaran dan gegap gempitanya kontestasi kandidat. Untuk biaya pencalonan (ongkos perahu politik), tim pemenangan, survey, atribut kampanye, sumbangan ke kantong pemilih, membeli suara, kampanye di media cetak dan elektronik, hingga menyiapkan saksi pada saat pemungutan suara. Angka yang fantastis dan tak sebanding dengan pendapatan resmi yang bakal diterima. Gubernur misalnya, hanya memperoleh gaji Rp. 8,6 juta/bulan atau total Rp. 165 juta selama lima tahun menjabat. Lantas dari mana “aktor- aktor” demokrasi ini akan mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan? Inilah awal bangkrutnya negeri ini akibat ulah “aktor” demokrasi aji mumpung tersebut. Korupsi dan koalisi (bermufakat) jahat menjadi cara untuk mengeruk dan menguras habis tanpa sisa pundi-pundi kesejahteraan rakyat.
Dana kampanye untuk politik pencitraan yang mahal. Pemilukada langsung memang memberikan tantangan bagi demokrasi. Sistem demokrasi liberal, menuntut kandidat memiliki angka popularitas tinggi untuk memperoleh suara mayoritas. Tujuannya agar kepala daerah terpilih lebih dekat dengan pemilih. Namun persoalan muncul ketika partai politik dan kandidat tidak bekerja secara maksimal meraih suara. Cara-cara instan justru menjadi pilihan utama, pencitraan melalui media cetak, elektronik dan ruang- ruang publik lainnya dengan hanya menampilkan gambar wajah semata. Pemilih diposisikan semata-mata sebagai komoditi politik disuguhkan iklan politik tanpa dapat mengenal lebih jauh kandidat. Konsekuensinya, kekuatan modal menjadi pendukung utama.
Ongkos konsultasi dan survei pemenangan yang mahal. Bisnis konsultan dan survei pemenangan memang manjanjikan. Terbukti semakin marak munculnya lembaga-lembaga survei yang kemudian digunakan kandidat untuk mengukur elektabilitas pencalonan. Tentunya tidak sedikit anggaran yang dikeluarkan untuk itu. Serta politik uang yang semakin merajalela, demi melancarkan monopoli suara, maka para calon berani untuk melakukan politik uang secara besar-besaran, agar dapat duduk di “kursi panas” yang diidamkan.
Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara luber dan jurdil di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Baik itu Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Pemilu Legislatif dan Pemilu Kepala Daerah. Pelaksanaan pemilu banyak mengalami dinamika, diantaranya biaya perahu politik yang mahal, dana kampanye yang mahal untuk politik pencitraan, ongkos konsultasi dan survei pemenangan yang mahal serta politik uang. Keterbukaan keuangan partai politik sangat penting sekali di dalam pelaksanaan pemilu, di mana sering terjadi hasil korupsi yang dilakukan bakal calon atau calon dalam pelaksanaan pemilu dipakai atau digunakan dalam kampanye, sampai dengan pelaksanaan pemilihan umum.
Menurut Edward Aspinal, politik uang hanya ada di Indonesia, sedangkan menurut Daniel Bumke karakteristik politik uang antara lain: 1) Vote Buying, merupakan pertukaran barang, jasa, atau uang dengan suara dalam pemilihan umum; 2) Vote Broker, orang yang mewakili kandidat/partai untuk membeli suara ; 3) Korupsi Politik, segala bentuk suap kepada politisi dalam rangka mendapatkan kebijakan yang menguntungkan atau keuntungan lainnya. Senada dengan itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan, bahwa problem integritas pemilu ada tiga penyebab, yaitu: 1). maraknya praktik politik transaksional negatif (politik uang); 2). dana kampanye haram sebagai modal politik; dan 3). penggunaan fasilitas negara dan daerah sebagai instrument pemenangan. Akibatnya masyarakat tidak percaya lagi kepada partai politik, atau sebagai masyarakat Indonesia mulai tidak lagi simpatik pada partai politik, di mana mereka memilih menjadi golput dan juga memilih para calon yang berasal dari bukan calon partai politik atau independen.
Gagasan regulasi keterbukaan keuangan partai politik harus digagas dengan seksama di dalam rencana kodifikasi pemilu. Agar ke depan ada pengaturan dana kampanye atau dana politik yang transparan, akuntabel, serta memiliki sanksi yang tegas dan mengikat para pihak yang terlibat, sehingga masyarakat kembali percaya lagi kepada partai politik, dan yakin bahwa partai politiklah tempat menyalurkan aspirasi mereka dalam pemberian hak dalam pemilu.*