Nusantaraaktual.com, JAKARTA – JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat) yang merupakan jaringan dari berbagai lembaga yang peduli pada pemantauan pemilu dan pendidikan pemilih menyoroti beberapa permasalahan di dalam proses seleksi anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di tingkat daerah.
Manajer Pemantauan JPPR Ajie Pangestu memberikan keterangan melalui rilis media JPPR (18/05/2022) bahwa pada tahun 2022 di Bawaslu terdapat 25 provinsi yang masa jabatan anggotanya berakhir dan pada tahun 2023 terdapat 9 provinsi, 514 kabupaten/kota dan 25 provinsi untuk anggota Bawaslu tambahan.
Ajie menilai kondisi tersebut akan menjadi tantangan tersendiri bagi Bawaslu Periode 2022 – 2027 mengingat penyelenggaraan tahapan Pemilu Tahun 2024 akan segera dimulai pada Juni 2022.
Dalam pantauan JPPR, beberapa permasalahan dalam proses rekrutmen Bawaslu di tingkat daerah, khususnya mengenai pembentukan timsel antara lain, terdapat perbedaan pemahaman antartimsel terkait mekanisme seleksi, kurangnya pemahaman dan kompetensi timsel terhadap isu-isu pemilu, serta keberpihakan timsel terhadap peserta tertentu sehingga melakukan penjegalan terhadap calon yang lain.
Bahkan, menurut JPPR, terjadi pemerasan yang dilakukan timsel kepada peserta seleksi dengan iming-iming akan diloloskan dalam proses seleksi. Selain itu, kurang maksimalnya identifikasi rekam jejak dan proses klarifikasi atas tanggapan publik terhadap calon serta dominasi kelompok tertentu pada semua level pimpinan menjadi permasalahan yang mewarnai proses seleksi Bawaslu daerah.
“Selain itu, yang menjadi perhatian kami juga Bawaslu kurang memiliki komitmen terhadap keterwakilan perempuan 30 persen Bawaslu Provinsi/Kabupaten/Kota sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu),” ujar Aji.
Hal tersebut dibuktikan di tingkat Bawaslu Provinsi hanya sekitar 21,2 persen dan Bawaslu Kabupaten/Kota hanya sekitar 16,5 persen. JPPR mendorong agar Bawaslu memperhatikan ketentuan aturan teknis dalam UU 7 Tahun 2017 terkait timsel dan tata cara seleksi Bawaslu provinsi dan Bawaslu kabupaten/kota.
JPPR juga mendorong Bawaslu memilih timsel atau panitia seleksi yang memiliki paradigma kepemiluan serta memperhatikan keberagaman keterwakilan kelompok, termasuk mewujudkan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Hal ini juga harus diterapkan pada proses seleksi anggota Bawaslu daerah.
Tak kalah penting untuk memilih anggota timsel yang independen, menjunjung tinggi asas imparsialitas, dan tidak menunjukkan keberpihakan. Bawaslu juga harus memberikan pemahaman yang menyeluruh kepada timsel terkait mekanisme seleksi agar terwujud kesepahaman bersama dalam melakukan seleksi.
“Selain itu, Bawaslu dan timsel harus mengutamakan kapasitas dan integritas calon dalam proses seleksi,” pungkas Ajie. (BW)