Nusantaraaktual.com, Jakarta – Krisis ekonomi tengah melanda Sri Lanka hingga dinyatakan bangkrut. Negara Asia ini gagal membayar utang luar negeri (ULN) yang mencapai US$51 miliar atau Rp754,8 triliun (asumsi kurs Rp14.800 per dolar AS).
Sri Lanka bangkrut tidak terlepas dari kegagalan pemerintah menghentikan krisis ekonomi terburuk yang dihadapinya dalam sejarah kemerdekaannya. Imbasnya, Sri Lanka gagal bayar utang luar negeri (ULN) yang mencapai sekitar Rp 754 triliun.
Selain Sri Lanka, kebangkrutan sebenarnya pernah dialami sejumlah negara. Bahkan, kebangkrutan terjadi jauh sebelum ketidakpastian ekonomi global akibat perang dan pandemi.
Lewat Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan, salah satu alasan Sri Lanka bangkrut karena krisis pangan yang berkepanjangan. Hal ini disebabkan karena tertekannya anggaran belanja pemerintah. “Krisis pangan membuat masyarakat melakukan panic buying dan penimbunan yang memberikan efek kelangkaan seperti minyak dan gas elpiji di berbagai tempat,” katanya.
Pengeluaran pemerintah yang berkurang membuat stimulus ke ekonomi menurun drastis. Negara yang bangkrut tentu akan kesulitan melakukan perdagangan ekspor dan impor karena tak memiliki devisa. “Negara bangkrut kemudian akan mengandalkan pajak. Namun, kondisi ekonomi yang buruk akan membuat masyarakat sulit membayar pajak,” ujar Bhima.
Selain itu, sebutnya lagi muncul juga transaksi pasar gelap di perbatasan wilayah ini. Hal ini dipertegas oleh Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad. Ia menyebutkan lonjakan inflasi akan terus berlanjut di Sri Lanka setelah dinyatakan bangkrut. Pasalnya, pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk menggelontorkan subsidi, guna menekan harga komoditas.
“Pemerintah tidak ada duit, tidak bisa subsidi. Otomatis dampaknya harga akan semakin tinggi,” kata dia. Terakhir, Sri Lanka akan kehilangan kredibilitasnya di mata investor. Sri Langka bangkrut tentu akan menjadi perhitungan utama investor untuk menempatkan modalnya di negera tersebut. Dengan demikian, Sri Lanka akan semakin kesulitan untuk memulihkan kembali perekonomiannya (YHW).