Nusantaraaktual.com, Jakarta – Paradigma milenial merupakan merupakan manifestasi dari wajah millennium atau pergantian masa 1000 tahun ketika dunia memasuki abad 21 sejak tahun 2000. Generasi yang lahir sejak tahun 2000 ini kerap dikenal dengan generasi milenial dan kini telah diperhadapkan dengan lajunya disrupsi teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan. Disrupsi teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan juga merupakan wujud peradaban revolusi industri yang telah membawa generasi milenial berada pada zona multimedia. Berangkat dari fenomena diatas, lantas apa yang akan dilakukan oleh generasi milenial dalam konteks gereja katolik ?. Sebut saja “milenial katolik”. Bahwa sebagai kaum muda dan sebagai bagian dari generasi milenial kita dituntut untuk lebih responsif terhadap berbagai fenomena sosial yang bersifat global seraya bertransformasi secara paradigmatik dalam menjawab berbagai tuntutan sosio-politik.
Memburuknya kondisi sosial politik di bangsa ini ditandai dengan pelbagai persoalan fundamental seperti terorisme, rasisme, korupsi hingga pelanggaran HAM yang semakin masif terjadi. Apabila direfleksikan, hal ini merupakan faktor pemicu keterlibatan generasi gereja melaui milenial katolik dalam melihat keadaan sosial politik yang dialami bangsa ini. Gereja harus lebih kooperatif dalam membuka hati dan pikiran umat serta mempunyai resposifitas terhadap segala problematika sosial yang terjadi. Optimisme dalam upaya menghadapi iklim politik global seraya menghadapi perubahan sosial tidak terlepas dari pada keterpanggilan iman yang hidup sebagai wujud dari pada spiritualitas politik.
Pesan Paus Fransiskus dalam momentum Sinode dan Hari Orang Muda Katolik Sedunia di Lisbon Portugis pada maret 2020 lalu, dengan tema; “Anak Muda, Aku Berkata Kepadamu, Bangkitlah” (Luk 7 : 14), sebenarnya telah memberi pesan kepada seluruh generasi milenial katolik untuk bangkit dan mengambil bagian dalam perkembangan sosio-politik. Baik skala politik nasional hingga global demi terciptanya keadilan sosial dan kesejahteraan umat.
Tugas Perutusan Dan Berpolitik Meneladani Yesus
Gereja telah memberi mandat kepada generasi milenial untuk merestorasi peradaban sosial dan responsif terhadap dinamika global. Milenial Katolik diberikan otoritas untuk ber-evangelisasi dalam dunia politik sehingga tidak hanya memiliki prestasi epistemis. Menyitir Bourdieu (1993), mereka mesti selalu sadar bahwa ilmu pengetahuan adalah hal yang kritis, kritis terhadap dirinya dan kritis terhadap kekuasaan yang ada. Sebagai anggota gereja, milenial Katolik dipanggil memiliki sensibilitas sosial. Dalam amanat Konsili Vatikan II melalui Gaudium Et Spes, No. 1 mengatakan, “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid kristus juga”. Keterlibatan milenial kaltolik dalam sistem perpolitikan bangsa merupakan bentuk tanggung jawab moral untuk terlibat dalam duka dan kecemasan dunia saat ini, mencari jalan menuju kebenaran dalam membela hak-hak kaum marginal. Tugas ini mulia, namun penuh dengan tantangan dan tuntutan, yang sering bertentangan dengan keinginan dan kecendurungan kodrat manusia. Meskipun demikian milenial katolik tetap dipanggil untuk mewartakan sabda, siap sedia dalam baik atau tidak baik waktunya. Kemudian harus berani menjadi saksi iman dengan menyuarakan kebenaran serta selalu bersikap kritis dan independen dalam mengawal komitmen bangsa ataupun gereja.
Keterbukaan hati dan pikiran itu bisa terjadi kalau umat beriman belajar berpolitik dengan meneladani Yesus yang mana selalu memfokuskan diri pada cinta kasih khususnya kepada yang lemah, miskin dan menderita. Cara berpolitik dengan meneladani Yesus ini telah dilakukan sejumlah tokoh katolik kita sejak silam, seperti Mgr. Soegijapranata, Kardinal Darmoyuwono, Romo Mangunwijaya, Frans Seda, Kasimo, dll. Mereka menjalankan kehidupan politik secara sederhana, dinamis, berpihak pada rakyat kecil dan selalu mengutamakan kepentingan bersama. Politik Katolik bukanlah politik berdasarkan kesempatan untuk berkuasa, melainkan berdasarkan hati nurani, dialog dan pelayanan demi kebaikan banyak orang.
Berpolitik dengan meneladani Yesus berarti; Bangkit bersama Yesus untuk membebaskan diri dari berbagai krisis sosial ekonomi (kemiskinan & kelaparan) yang menimpa bangsa dari waktu ke waktu. Membangun dan membaharui tekad bersama untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa kita yaitu merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Kemudian berjuang dan melindungi hak-hak setiap warga negara di bidang politik, ekonomi, pendidikan dan kesehatan serta mengotrol mekanisme demokrasi bangsa supaya aspirasi umat semakin mendapat tempat. Kemudian melakukan pendidikan politik bagi warga Gereja dengan maksud agar umat dan generasi milenial katolik semakin sadar politik, tahu akan hak dan kewajibannya dan mau terlibat aktif dalam politik. Pendidikan politik dimengerti sebagai bagian integral dari pembinaan iman seluruh anggota gereja termasuk para calon katekis, imam serta generasi milenial katolik. Di sisi lain perjuangan politik milenial katolik perlu mewaspadai jebakan politik instrumentalisasi. Benar bahwa generasi milenial katolik dituntut menjadi “Garam dan Terang bagi dunia” (Mat 5:13-16) serta menjadi “batu karang” demokrasi. Tetapi proses ini bukanlah hal yang mudah, sebab tak tersangkalkan lagi bahwa terkadang milenial katolik juga merupakan bagian dari “kelompok” yang rentan diinstrumentalisasi kekuasaan oleh pihak tertentu yang berkepentingan.
Selaku garda terdepan gereja dan bangsa (Ecclesia Et Patria) milenial Katolik harus mampu mewujudkan stabilitas sosial dan mampu menjadi episentrum liberalisasi publik, bukan terjebak dalam gerakan partisan ataupun gerakan taktis yang didukung oleh uang dan legitimasi kekuasaan. Sama halnya seperti yang kebanyakan kaum pragmatis Farisi yang berteriak “Salibkan Dia…, Salibkan Dia” (Yoh 19:16), lantaran diintrumentalisasi dan dipolitisasi oleh pemuka agama Yahudi. Sama halnya bila dikatakan kalau kaum muda Katolik yang kerap disapa agen of control and agen of change ternyata telah dikapitalisasi oleh kepentingan pihak tertentu yang mendesain arah gerakan yang secara terstruktur dan tersistematis. Tentu ini menjadi hal yang ironis bagi gereja dan bangsa yang telah menggantungkan harapan kepada generasi milenial Katolik dan bisa saja banyak stigma publik yang muncul bawasanya kita adalah Underbow kelompok elite penguasa. Jikalau hal demikian benar-benar terjadi maka tentu akan mendekontruksi hakikat epistemis dan mendesakralisasi peran kenabian kader gereja.
Politik, Spiritualitas Dan Teknologi
Politik atau Polis (Yunani) yaitu “negara-kota” atau dapat diartikan sebagai suatu pemerintahan dalam suatu wilayah (negara atau kota). Politik secara umum diartikan sebagai seni mengatur kehidupan kota atau negara demi mencapai kebaikan dan kesejahteraan bersama. Milenial katolik dan politik dalam konrteks global adalah satu jaringan dan jejaring yang kompleks dari bermacam-macam agen, negara dan non negara, yang membentuk struktur yang tidak penuh, memiliki kedekatan, juga konflik satu sama lainnya. Sementara struktur itu sendiri tidak lain adalah sebuah konteks sosial yang bersifat dinamis dan dapat berubah bentuk tergantung pada luas pemakaian atas ide-idenya. McAdam dalam tesisnya pada tahun 1996 sebenarnya bisa dibenarkan bahwa politik merupakam “persekutuan para elite”. Sejenak bila kita berefleksi akan iklim politik bangsa hari ini seolah-olah didominasi oleh kaum-kaum elit yang unggul secara finansial serta golongan mayoritas tertentu. Kendati politik pada hakekatnya adalah hak komunal bagi setiap umat.
Sebagian umat katolik seharusnya tidak anti terhadap politik apalagi sampai menajiskan dan mengharamkan oleh karena sikap gereja yang terkadang melihat politik semata-mata sebagai hal yang kotor, licik, penuh intrik dan persaingan, serta syarat dengan kepentingan pribadi. Slogan-slogan paradoksal inilah yang sebenarnya telah mempersempit nalar umat. Kemudian sikap diam dan pasif seakan-akan hanya membuat umat terpenjara dalam lingkungan gereja. Sikap diam dan pasif itu sejatinya bukan merupakan jawaban atas amanat Gaudium Et Spes dalam Konsili Vatikan II yang mengatakan bahwa “segenap umat Katolik menyadari panggilannya yang khas dalam negara yaitu kewajiban mengabdikan diri kepada kesejahteraan umum. Sebab hanya dengan cara seperti ini umat Katolik dalam hal kaum milenial dapat menunjukan tindakan cinta kasih yang nyata dan menguntungkan masyarakat.” Dari segi pewartaan gereja, milenial katolik terpanggil untuk meneladani dan mewartakan Injil secara aplikatif dibawah lajunya arus disrupsi teknologi dan perubahan sosial. Disrupsi teknologi dewasa ini menghasilkan beberapa hal penting yaitu perubahan konstelasi politik global dan fleksibelitas isu internasional yang bersusmber dari propaganda media yang berbasis teknologi.
Milenial katolik telah menjawab perubahan zaman dan tuntutan peradaban revolusi industri. Sebagai pengejewantahan dari teknopolitik spiritual, Hal ini diliahat dari sisi iman kekatolikan (spiritualitas) yang mana dunia telah dikejutkan oleh aksi heroik Carlo Acutis. Seorang remaja Italia yang dibeatifikasi melalui otoritas Vatikan menjadi Santo Milenial pertama yang menggunakan teknologi internet untuk perjuangan iman dan tugas perutusannya. Oleh sikap heroiknya itu, Santo Carlo Acutis dianggap telah melakukan mukjizat penyelamatan nyawa anak laki-laki di Brasil yang menderita penyakit pankreas langka. Santo Carlo Acutis kini menjadi “perantara” sejak 2013 silam. Terlepas dari peristiwa mulia itu, dapat diyakini bahwa peranan teknologi internet juga dapat diperkenankan untuk kepentingan iman dalam konteks perjuangan politik yang juga merupakan salah satu tugas perutusan. Dalam konteks ini mengapa politik dianggap sebagai tugas perutusan ?, karena revolusi industri telah menciptakan suatu tatanan politik yang bersifat global dan olehnya itu perjuangan politik hari ini dapat aktualisasi melalui sarana teknologi dalam arti Teknopolitik. Dengan demikian tugas perutusan milenial katolik akan mampu mengubah tatanan sosial karena adanya hubungan kausalitas yang kuat antara spiritualitas, teknologi dan politik.
Milenial katolik juga dituntut untuk tetap konsisten dalam mewujudkan keadilan dan kebenaran melalui tugas-tugas perutusan seperti apa yang dilakukan oleh Yesus sendiri. Sebab tidak hanya terpanggil untuk mengisi bangku gereja saja ataupun berkomunio dengan Allah secara sakramental (ekaristi), melainkan terpanggil untuk memandang politik sebagai salah satu bidang pelayanan demi perwujudan kasih Allah atas keadilan dan kebenaran. Pelayanan ini sebagai bentuk konkrit dari umat beriman dalam memajukan kesejahteraan umum dan kebaikan bersama seperti apa yang telah diwartakan dalam Kitab Suci, Yeremia 29:7. “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu”.
Christian A. D. Rettob
(Sekretaris Jenderal PP PMKRI Periode 2022-2024)