Nusantaraaktual.com, Papua – Berita mengejutkan datang dari Timika, Papua. Empat orang warga sipil Timika dimutilasi. Pembunuhan yang terjadi 22 Agustus lalu di kawasan SP 1, Distrik Mimika Baru, dan jasad korban dibuang di sekitar sungai Kampung Pigapu, Distrik Iwaka, membuat banyak orang geleng-geleng kepala. Tragisnya, ada oknum TNI yang terlibat dalam tindakan sadistis ini.
Menyikapi hal ini, Gugus Tugas Papua Pengurus Pusat Pemuda Katolik menyelenggarakan webinar seris dengan mengangkat tema, “Menguak Motif Kasus Motilasi 4 Warga Sipil di Timika Papua, Sabtu 24 September 2022”.
Sekjen PP Pemuda Katolik, Johanes SM Sitohang dalam sambutanya mengatakan kasus mutilasi tersebut merupakan perbuatan yang mencerminkan perbuatan sadistis dan merendahkan harkat dan martabat manusia. “Oleh karena itu, kader-kader pemuda Indonesia bahu-membahu mengawal kasus tersebut dengan kontribusi nyata, tidak sekedar menjadi follower,” sebutnya.
Dalam serial seminar ini, beberapa pembicara dihadirkan untuk memberi kerangka atas persoalam mutilasi ini. Theofransus Litaay Ph.D selaku Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan RI menyampaikan arahan dan instruksi Presiden terkait kasus tersebut.
Menurutnya kasus mutilasi ini sangat dikecam oleh Presiden karena merupakan tindakan kejam dan biadab. Kasus mutilasi oleh oknum anggota TNI tersebut merusak nama baik Negara. Untuk itu, presiden sudah memerintahkan panglima TNI untuk mengusut kasus tersebut hingga tuntas.
“Panglima TNI sudah ke Papua dan berhasil menahan 9 orang pelaku dan sedang menjani proses hukum. Para pelaku dijerat KUHP Pasal 339 dan 340 dengan hukuman pidana mati atau penjara seumur hidup.”
Hadir juga Tokoh Masyarakat Papua Paskalis Kossay. Ia mengatakan, masalah mutilasi di Timika tidak terlepas dari rentetan kasus kemanusiaan di seluruh Papua sejak tahun 1961 sampai saat ini. Pembunuhan, pembantaian dan penyiksaan sudah berlangsung lama, sehingga oknum pelaku tidak merasa takut dan ragu untuk menghabisi nyawa orang Papua.
Paskalis berpendapat, Presiden dan panglima TNI harus serius menyelesaikan persoalan ini karena kasus ini sudah menjadi sorotan PBB. Solusi yang ditawarkan adalah para pelaku dari oknum anggota TNI dan masyarakat sipil sehingga 6 orang anggota TNI harus dipecat terlebih dahulu supaya semuanya melalui proses pengadilan umum bukan pengadilan militer. “Sebab berkaca dari kasus pembunuhan Theys Hiyo Eluay dan Kasus pembunuhan di Paniai melalui pengadilan militer tidak memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban. Kasusnya malah ditutup-tutupi dan hukuman yang diberikan jauh dari keadilan,”tegasnya.
Sementara itu, Fientje Jarangga selaku Kordinator Tiki, Jaringan HAM Perempuan Papua menyampaikan suara hati mama-mama Papua sebagai korban kekerasan berlapis sejak tahun 1960-an sampai saat ini.
Menurutnya, kasus kekerasan dan pembunuhan terhadap orang asli Papua berlanjut secara masif dan tidak ada proses penyelesaian yang adil dan transparan. Mama-mama yang punya anak dan suami korban penyiksaaan dan pembunuhan tidak mendapat keadilan hukum sehingga meninggalkan trauma dan kekecewaan yang mendalam atas perlakuan perangkat Negara.
“Perlu pengawasan terhadap Keppers 17 tahun 2022 dan Raperdasus KKR yang sedang dirancang bahwa Jangan sampai pelanggaran HAM berat masa lalu dan kekerasan lainnya penyelesaiannya non judicial,” tegas Fientje.
Senada dengan Fientje, Otis Tabuni, SH mewakili pihak keluarga korban menyampaikan tuntutannya. Pihak keluarga menuntut proses hukum pelaku dilakukan dilaksanakan di Timika secara transparan dan terbuka untuk umum. Pihak keluarga juga menuntut pelaku di hukum mati, sebab itu hukuman yang adil bagi keluarga korban yang sudah meninggalkan anak dan istri. Dari pihaknya juga, Otis mendesak komisi HAM PBB untuk membentuk tim investigasi membongkar tabir kejahatan di Tanah Papua sejak tahun 1960-an hingga saat ini.
Mewakili Pengurus Pusat Pemuda Katolik, Dr. Laurensius Arliman menjelaskan kasus mutilasi adalah peristiwa hukum dan HAM luar biasa. Penghormatan, perlindungan, pemenuhan, pemajuan dan penegakan HAM menjadi tanggung jawab institusi Negara, tak terkecuali institusi TNI.
Laurensius Arliman mengamati kasus ini ada semacam penghalang-halangan dari pihak institusi pelaku. Oleh karena itu, pihaknya menyerukan proses penyidikan dan penyeledikan yang dilakukan oleh pihak Polisi-Militer dan Komnas HAM harus transparan dan berkedilan.
Sedangkan Frits Bernard Ramandey selaku Kepala Perwakilan Komnas HAM Provinsi Papua melaporkan sejumlah temuan lapangan. Menurutnya kasus ini sudah ada perencanaan kejahatan sejak tanggal 18-19 Agustus 2022 sebelum dibunuh dan dimulitasi pada tanggal 22 Agustus 2022, sehingga kasus tersebut termasuk pembunuhan berencana. Proses mutilasi tidak dilakukan secara terburu-buru dan pemilihan lokasi pembunuhan juga di tempat yang aman karena mereka sangat profesional. Dari hasil bukti-bukti komunikasi visual sangat meyakinkan bahwa mereka melakukan hal yang sama lebih dari 1 kali.
Frits mengatakan ada tiga motif dalam kasus tersebut, yaitu ada motif bisnis solar, motif kejahatan-perampokan dan motif pengkondisian untuk melegalkan kehadiran pihak institusi tertentu di Timika.
Melkior NN Sitokdana, selaku Ketua Departemen Gugus Tugas Papua, Pengurus Pusat Pemuda Katolik diakhir sesi mengajak para pemuda Indonesia untuk mengawal kasus mutilasi tersebut hingga para keluarga korban mendapatkan keadilan hukum. Menurutnya, kasus mutilasi di Timika lebih sadis dan berbahaya dibanding kasus Sambo. Oleh karena itu, pihaknya berharap Presiden, DPR RI, Polisi Militer dan Komnas HAM bahu-membahu menyelesaikan kasus tersebut secara transparan dan berkeadilan. Sebab keseriusan Pemerintah terhadap kasus di Timika sedikit-demi sedikit menambah kepercayaan terhadap Negara.