Tahukah kamu bahwa sejak dulu, judi dan dampak buruknya di masyarakat sudah terjadi di Indonesia? Ya. Kamu tidak salah baca. Kamu juga seharusnya tidak terkejut karena memang sejak dulu, judi sudah ada di Indonesia. Artinya, judi bukan baru kali ini menghancurkan banyak kehidupan masyarakat di Indonesia.
Paling tidak, melansir dari historia.id, pada tahun 1890, masalah sosial akibat judi pernah terjadi di masyarakat di pulau Jawa. Dalam tulisan berjudul “Pajak Judi Masa Kompeni” itu diceritakan pula bahwa rumah judi sudah ada di Batavia sejak tahun 1620. Mencengangkan? Sabar. Ingatlah sejenak kepada Cinta Mega, anggota DPRD DKI Jakarta, yang pada saat mengikuti Rapat Paripurna malah tertangkap basah sedang bermain judi Gate of Olympus menggunakan gawainya, yang adalah fasilitas milik negara. Bila wakil rakyat saja berjudi menggunakan fasilitas negara, bagaimana dengan rakyatnya? Ya. Tentu saja rakyatnya berjudi juga.
Seminggu sebelum tulisan ini dirangkai, Budi Arie Setiadi (MENKOMINFO) bahkan menyampaikan dalam konferensi pers-nya bahwa seorang Perwia TNI telah menyudahi hidupnya karena terlilit utang gara-gara judi. Konferensi itu merupakan penyampaiannya terkait perkembangan pemberantasan judi. Sayangnya, sampai saat ini belum terdengar tindak-lanjut atas laporan terhadap artis-artis yang pernah mempromosikan judi online itu. Padahal, mereka turut bertanggungjawab atas nyawa masyarakat yang hilang akibat judi. Akan tetapi, apakah pelaku judi, khususnya judi online, adalah korban belaka? Mari kita dengarkan cuplikan percakapan di bawah ini.
Menurut Bayu, seorang mantan penjudi online yang diwawancara oleh Grace Tahir dalam Isolate Show, ia lebih memilih disebut sebagai korban dari judi online daripada sebagai pelaku judi online. Sebab, baginya, akibat dari mudahnya mengakses permainan judi online itu dan masifnya iklan judi online itu, ia jadi gampang melakukan judi. Bayu juga berpendapat bahwa orang-orang yang berjudi online itu adalah orang-orang yang memang sedang butuh uang. Kemudian, kebutuhan terhadap uang itu bertemu dengan “jalan pintas” memperoleh uang lewat judi. Maka, terjadilah malapetaka ini. Apalagi dengan sepilihan kalimat yang dipakai dalam iklan-iklan judi itu, yang “menjanjikan” uang taruhan si penjudi akan dikalikan jumlahnya sepuluh kali sampai seribu kali.
Agar lebih jelas, beginilah kira-kira simulasi judi online, yang kata Bayu tadi mudah dilakukan itu. Saat membuka aplikasi, nyaris semua aplikasi yang ada iklannya, muncullah iklan judi online itu, yang kini tengah diberantas oleh Budi Arie Setiadi dan timnya tadi. Bila kita klik iklan itu dan masuk ke dalam situs judi online itu, dengan gampang kita bisa mendaftar. Paling-paling cuma butuh nama dan nomor ponsel saja untuk mendaftar. Kemudian, dengan memasukkan uang deposit minimal Rp 20.000, yang dengan gampang juga bisa disetor lewat segala macam aplikasi, kita bisa mulai bermain. Lalu, dengan minimal taruhan 200 rupiah, kita menekan tombol “putar” untuk menagih janji si penyedia game judi itu yang akan mengalikan uang 200 rupiah tadi sebanyak sepuluh kali sampai seribu kali.
Jadi, kalau si penyedia game judi itu menepati janjinya, uang taruhan sejumlah 200 rupiah itu akan menjadi 2000 rupiah bila dikalikan sepuluh dan akan menjadi 200 ribu rupiah bila dikalikan seribu. Dari Rp 200 menjadi Rp 200.000. Menggiurkan benar! Kalau taruhannya Rp 1.000, hasilnya adalah Rp 15.000 bila kena “kali” 15 dan akan jadi Rp 500.000 bila kena “kali” 500. Sungguh manis janjinya, bukan? Namun, pada jumlah taruhan berapa dan pada tekan “putar” ke berapa janji pengali itu akan diberikan? Hanya si penyedia game judi, lah, yang mengetahuinya karena mereka yang mengaturnya. Sedang si penjudi, dengan kebutuhannya terhadap uang, entah itu benar-benar butuh atau tidak, terus menekan tombol “putar” berharap pemerintah menyudahi peredaran dan perputaran aplikasi dan situs judi online itu, sebelum hasratnya untuk menyudahi hidup berputar-putar di dalam pikirannya sebagai dampak psikologis akibat si penyedia judi tak kunjung menepati janjinya dan akibat dari ancaman penagih utang yang berputar-putar mengacak-acak perutnya.*
Opini oleh: Alpistasedo Pelawi (Kabid Komunikasi dan Informatika Pemuda Katolik Komcab Dumai)